![]()
Perempuan, Rumah Gadang, dan Kepemimpinan Kolektif Minangkabau
Oleh: Muhammad Fawzan,
Jurusan Sastra Minangkabau
Universitas Andalas Padang Sumatera Barat
Dalam sistem sosial Minangkabau, perempuan bukan hanya simbol kasih, tetapi juga pusat kekuasaan yang tenang. Rumah Gadang adalah warisan matrilineal yang diturunkan dari ibu ke anak perempuan, menjadi bukti konkret bahwa kepemimpinan kolektif dan demokrasi berbasis keluarga telah lama berakar di bumi Ranah Minang.
“Rumah ini bukan hanya tempat tinggal,” kata Srikandi, seorang perempuan Minang di Payakumbuh. “Ia adalah lambang tanggung jawab. Seorang perempuan tidak hanya menjaga rumah, tapi juga menjaga marwah keluarga dan keseimbangan adat.”
Dalam sistem matrilineal Minangkabau, perempuan memiliki otoritas atas harta pusaka tinggi, sementara laki-laki berperan sebagai penjaga moral dan pelaksana keputusan adat. Relasi ini tidak hierarkis, tetapi komplementer. Keduanya saling menopang dalam sistem yang menjunjung musyawarah dan mufakat.
Struktur ruang Rumah Gadang memperkuat prinsip ini. Bagian tengah rumah menjadi tempat perempuan mengatur kehidupan domestik dan sosial, sementara ruang depan terbuka bagi diskusi keluarga besar. Arsitektur ini mencerminkan pandangan hidup Minang, perempuan adalah pusat orbit sosial, bukan sekadar pelengkap.
Dalam riset antropologi oleh Gantino Habibi (2018), tiang-tiang dan struktur rumah digambarkan sebagai simbol keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan. “Jika satu tiang patah, rumah bisa miring,” tulisnya. “Begitu pula masyarakat, jika salah satu peran diabaikan, maka rusaklah keseimbangan adat.”
Musyawarah di Rumah Gadang juga menunjukkan bagaimana perempuan memainkan peran penting dalam proses pengambilan keputusan. Meski tidak selalu tampil di depan, pandangan mereka selalu didengar dan menjadi dasar pertimbangan bagi ninik mamak. Di banyak nagari, keputusan adat tidak sah tanpa restu dari perempuan tertua dalam kaum yang disebut Bundo Kanduang.
Di era modern, konsep ini menemukan relevansi baru. Ketika dunia masih memperdebatkan representasi perempuan dalam politik dan kepemimpinan, masyarakat Minangkabau telah lama mempraktikkannya melalui keseharian adat. Rumah Gadang adalah bentuk arsitektur egaliter yang menempatkan perempuan dan laki-laki pada posisi setara, bukan karena hukum, tetapi karena keyakinan budaya.
Sayangnya, tantangan modernisasi mulai menggerus makna itu. Banyak generasi muda yang meninggalkan rumah adat demi gaya hidup urban. Namun, nilai-nilai yang terkandung dalam Rumah Gadang tetap hidup, menjadi inspirasi bahwa kepemimpinan sejati adalah tentang keseimbangan, bukan dominasi.
Seperti pepatah Minang mengatakan, “Limpapeh rumah nan gadang, tunggak tuo dalam nagari.” Perempuan adalah tiang penyangga rumah dan masyarakat. Maka selama Rumah Gadang masih berdiri, demokrasi Minangkabau akan terus bernaps lembut, bijak, dan bersumber dari kasih seorang ibu.