RedBabel-PANGKALPINANG — Penjabat (Pj) Gubernur Kepulauan Bangka Belitung (Babel) yang rangkap jabatan selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) Ombudsman Republik Indonesia, Dr. Suganda Pandapotan Pasaribu, AP., M.Si terancam melanggar Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 ketika mengangkat atau memberikan jabatan Staf Khusus Pj. Gubernur Babel kepada kakaknya.
Pendapat ini disampaikan oleh tenaga pengajar Hukum Administrasi Negara Universitas Pertiba (Uniper) Pangkalpinang, Agus Hendrayadi, SH, MH, M.Kn, CTL saat dimintai tanggapannya terhadap pengakuan Pj. Gubernur Babel, Suganda Pandapotan bahwa kakaknya diangkat sebagai Staf Khusus Pj. Gubernur.
Pengakuan tersebut disampaikan Pj. Gubernur Babel, Suganda Pandapotan saat audiensi serta konferensi pers dengan pimpinan media dan wartawan dalam rangka diseminasi informasi Pemerintah Provinsi Babel di Rumah Dinas Gubernur, Senin (14/8/2023).
Menurut Agus Hendrayadi, pengakuan yang disampaikan secara terbuka kepada insan pers itu sebenarnya merupakan bentuk transparansi Sekjen Ombudsman RI sekaligus Pj. Gubernur, dalam menjawab polemik staf khusus yang ramai di media.
Hanya saja, pengakuan ini berimplikasi terhadap hukum terkait dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
“Dalam penjelasan Pasal 2 angka 7 Undang-undang itu ada disebutkan mengenai Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan. Dengan demikian, Sekjen Ombudsman yang merupakan pejabat eselon I selaku Pj. Gubernur Babel dan berstatus sebagai ASN merupakan pejabat yang memiliki fungsi strategis dan penyelenggara negara,” jelasnya dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Selasa (15/8/2023).
Sedangkan terkait dijadikannya kakak dari Pj. Gubernur sebagai staf khusus, maka kata Agus, hubungan kekeluargaan dalam pemerintahan atau penyelenggara negara asumsinya harus pula mengacu pada Pasal 1 angka 5 UU No. 28 tahun 1999 mengenai pengertian nepotisme.
“Regulasi ini menegaskan penyelenggara negara harus bersih dan bebas KKN, salah satunya bersih dan bebas dari nepotisme. Pada Pasal 1 angka 5 undang-undang itu, pengertian nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Sehingga harus dilihat apakah nepotisme yang dilakukan melawan hukum dan menguntungkan kepentingan keluarga, kroninya atau tidak. Jika menguntungkan dan melawan hukum maka terjadi nepotisme, bila tidak bukan nepotisme,” ujarnya.
Demikian juga apabila hendak menilai Pj. Gubernur Babel bersih dari nepotisme atau tidak, akademisi yang juga pengacara ini mengatakan dapat dilihat pada norma-norma hukum dalam UU No. 28 tahun 1999 yakni Pasal 5 tentang kewajiban penyelenggara negara, terutama pada Pasal 5 angka 4 dan 6.
“Pertama, apakah bersih dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya? Kedua, apakah selaku penyelenggara negara telah melawan hukum, menguntungkan pribadi, orang lain, keluarga atau kroninya? Jika unsur-unsur ini terpenuhi maka terjadi nepotisme dan dapat dikenakan Pasal 20 Juncto Pasal 22 Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 itu,” katanya.
“Sanksinya, mulai dari sanksi administratif bila melanggar Pasal 5 angka 1, 2, 3, 5 dan 6, sampai dengan sanksi pidana penjara paling singkat 2 tahun maksimal 12 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta maksimal Rp1 miliar jika melanggar ketentuan Pasal 5 angka 4 mengenai nepotisme. Beda lagi kalau kolusi pidananya di atur Pasal 21,” papar Agus yang kini tengah menempuh Program Doktor Hukum di Universitas Borobudur Jakarta.
Lanjutnya, Pasal 5 angka 4 dan 6 UU No. 28 tahun 1999 tersebut berisi tentang penyelenggara negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta wajib melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Sehingga apabila sudah mengaku di depan para wartawan dan pimpinan media bahwa kakaknya diangkat sebagai staf khusus untuk membantunya dalam bekerja, yang otomatis mendapat gaji atau honor dari pemerintah, dapat dinilai apakah nepotisme, melawan hukum dan menguntungkan kepentingan keluarga atau tidak. Jika memenuhi unsur-unsur Pasal 5 angka 4 tersebut, maka sudah melanggar hukum, dan ada pidananya minimal penjara dua tahun,” tegas Agus.
Namun diakuinya, Undang-undang No. 28 tahun 1999 ini dibuat setahun setelah Reformasi, sehingga masih sangat sederhana. Hanya terdapat 24 pasal dalam undang-undang yang disahkan pada 19 Mei 1999 oleh Presiden BJ Habibie dengan turunan perundang-undangan yang terbatas.
“Tapi, undang-undang ini menjadi rujukan terhadap perubahan undang-undang Tipikor. Di dalamnya juga mengatur cara masyarakat untuk berperan serta mengawasi penyelenggara negara dengan melaporkan ke Komisi Pemeriksa yang dibentuk Presiden untuk ikut mewujudkan penyelenggara negara yang bersih sesuai dengan asas-asas umumnya,” tukas Agus.
Mantan Sekretaris PWI Babel ini berharap pengakuan Pj. Gubernur Babel yang mengangkat kakaknya sebagai staf khusus, tidak memenuhi unsur-unsur nepotisme dan melawan hukum. Sehingga tidak menjadi acuan budaya nepotisme bagi penyelenggara negara lainnya di Provinsi Babel kedepan.
“Karena jika terpenuhi unsur-unsur nepotismenya maka para pejabat lainnya juga dapat dipidana dengan Pasal 22 itu. Semoga ini tidak terjadi di Bangka Belitung dan tidak menjadi budaya kita,” pungkasnya. (*RB)
